SENGGRENG
Senin, 10 November 2014
Jumat, 20 Juni 2014
LAGU KHAS TELAGA SENGGRENG
“ Tlogo Senggreng
Merak Ati “
Lirik/lagu : Mas Bei
Arransemen : mbah Bawonk Capi’i
Banyu kinclong lirak-lirak, nyegerke pangroso
Angin sumilir, koyo ngelus-ngelus rikmo
Kehing mino kliwar-kliwer, koyo lagi ngece
Konco mancing podo gemes, ngwaske tingkah
polahe
Reff
Kae ing sisih lor
pro konco tani lagi nggarap sawahe
Tamu agung seliweran mrono-mrene karo praune
Kang wus sayah
ing mujaer lesehan kabeh podo ngaso
Ing ngisor wit
sakupeng telogo tak ijo royo-royo
ba…a…ba…o…e.., ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia, oleio, oleia, oleio……..
ba…a…ba…o…e.., ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia, oleio, oleia, oleio……..
ba…a…ba…o…e.., ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia, oleio, oleia, oleio……..
ba…a…ba…o…e..,
ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia,
oleio, oleia, oleio……..
diulang masuk Reff
Kae ing sisih
lor, pro konco tani, lagi nggarap sawahe
Tamu agung seliweran mrono-mrene, nunggang praune
Kang wus sayah
ing mujaer lesehan kabeh podo ngaso
Ing ngisor wit
sakupeng telogo, tak ijo royo-royo
Tlogo Senggreng desa asri, pancen merak
ati
Tlatah Senggreng, Kecamatan Pucung, Malang panggonane
Mudho-mudhi, kang lagi kasmaran,
ganthilaning ati
Lungguh jejer, pinggir telogo,
mingsat-mingsut, lagi ngiket janji
ba…a…ba…o…e.., ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia, oleio, oleia, oleio……..
ba…a…ba…o…e.., ba…a…ba…o…e..,
oleio, oleia, oleio, oleia, oleio……..
(diulang
terus makin lama makin menghilang)
TRANSPORTASI
Bilamana dari
arah luar kota misalnya : Surabaya maupun Blitar bermaksud menuju Desa
Senggreng , dapat ditempuh dengan kendaraan umum Bus maupun Kereta Api dengan
berhenti di Halte maupun stasiun NGEBRUK. Dari Ngebruk ditempuh kendaraan Ojek
maupun Dokar. Meskipun jalan menuju pelosok-pelosok Desa Senggreng sebagian
besar telah beraspal dan dapat diakses dengan kendaraan roda 4, namun
transportasi umum yang ada di Desa Senggreng (desa di mana letak Telaga
Senggreng berada) adalah kendaraan Ojek dan Dokar (Delman). Untuk
kendaraan umum roda 4 masih dalam taraf penjajagan. )
LETAK GEOGRAFIS DAN JARAK TRMPUH TRLAGA SENGGRENG
Telaga
Senggreng terletak di Desa Senggreng, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang,
Propinsi Jawa Timur. Berada diantara 2 (dua) desa Juara, yaitu Desa Senggreng
Juara Nasional tahun 1999 dan Desa Sambigede Juara Kabupaten Malang tahun 2004
Jarak dan waktu tempuh Telaga
Senggreng dari :
Kota
Surabaya sejauh + 110 Km, dengan waktu tempuh + 3 jam berkendaraan
bermotor roda 4 maupun roda 2.
Kota
Malang sejauh + 29 Km, dengan waktu tempuh kurang dari 1 jam
berkendaraan bermotor roda 4 maupun roda 2.
Kota
Kepanjen sejauh + 9 Km, dengan waktu tempuh kurang dari ½ jam perjalan
berkendaraan bermotor roda 2 maupun roda 4.
Ibu kota
Kecamatan Sumberpucung sejauh + 4 Km, dengan waktu tempuh kurang dari 15 menit
perjalan berkendaraan bermotor roda 4 maupun roda 2.
Dari Pasar & Stasiun Ngebruk + 1 Km, dengan
waktu tempuh kurang dari 10 menit perjalan berkendaraan bermotor roda 4 maupun
roda 2. Dan bila ditempuh dengan kendaraan tradisional jenis Dokar, maka lama
perjalanan sekitar 20 menit.
POTENSI TELAGA
Ø Luas Telaga Senggreng + 14 Ha.
Ø
Debit air telaga + 25 liter/detik.
Ø
Mampu mengairi sawah seluas + 52 Ha.
Ø
Kedalaman air telaga bervariasi antara 1 – 10
meter.
Ø
Terdapat 2 (dua) buah Sumber air yang terletak
di tepi Telaga.
Ø
Air Tawar/ mengalir sepanjang tahun.
Ø
Air Telaga stabil, tidak pernah surut walaupun
kemarau panjang dan tidak pernah meluber jika musim hujan.
Ø
Kondisi air cukup untuk kegiatan wisata air.
Ø
Letak geografis sangat mudah dijangkau, diapit
oleh 2 (dua) desa Juara, yaitu Desa Senggreng Juara Nasional tahun 1999 dan
Desa Sambigede Juara Kabupaten tahun 2004.
Ø
Kondisi jalan menuju Senggreng beraspal Hotmix.
Luas
Telaga Senggreng + 14 Ha. dengan debit air telaga + 25
liter/detik, terbukti mampu mengairi sawah seluas + 52 Ha. Kedalaman air
telaga bervariasi antara 1 – 10 meter, di mana ditepi telaga terdapat 2 (dua)
buah Sumber air yang cukup besar, dan Air Tawar/ mengalir sepanjang tahun tidak
pernah surut walaupun kemarau panjang dan tidak pernah meluber dimusim hujan,
kondisi yang demikian ini sangat memenuhi syarat untuk kegiatan wisata air.
Apalagi ditambah letak geografis yang sangat strategis, diapit oleh 2 (dua)
desa Juara, yaitu Desa Senggreng Juara Nasional tahun 1999 dan Desa Sambigede
Juara Kabupaten tahun 2004, dan lokasi yang sangat mudah dijangkau, dengan
kondisi jalan menuju Senggreng beraspal Hotmix, maka sangatlah sayang apabila
potensi ini dibiarkan mendengkur tanpa ada sentuhan kebijakan dari para pihak
yang punya kompeten mengembangkan potensi ini sebagai salah satu solusi dalam
mengurangi angka kemiskinan di daerah sekitarnya.
SEJARAH TERJADINYA TELAGA SENGGRENG
Dahulu kala pada masa penjajahan Belanda, lokasi Telaga Senggreng masih
berupa tebing yang dibawahnya mengalir sungai kecil nan jernih yang berasal
dari sumber air yang banyak berada di sekitar tebing itu. Sumber yang paling
besar disebut Sumber Kromoleo. Agar pemanfaatan air dapat maksimal, antara lain
untuk pertanian, perikanan, tempat mandi penduduk sekitar dan tempat bersantai
melepas lelah bagi penduduk sekitar yang seharian bekerja keras menggarap lahan
pertaniannya dan lain-lain, pemerintah Hindia Belanda melalui assisten Wedono
yang waktu itu penduduk biasa menyebut ndoro Sten (sekarang Camat)
memerintahkan (Dawuh dalam bahasa Jawa) kepada penduduk sekitar untuk
membuat tanggul guna membendung sungai limpahan sumber air terutama sumber
Kromoleo agar menjadi Waduk yang airnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan.
Atas adanya perintah (dawuh) dari ndoro sten
tersebut, maka masyarakat sekitar terutama warga Desa Senggreng
bergotong-royong mengadakan kerja bakti membuat tanggul yang bahan-bahannya
terdiri dari Ijuk ( dalam bahasa jawa disebut Duk), tanah uruk
dan lain-lain, maka jadilah waduk tersebut seperti yang sekarang ini, dan
daerah sekitar waduk tersebut hingga saat ini disebut NDAWUHAN asal kata dari Dawuh
yang berarti perintah (perintah untuk membuat tanggul dari ndoro Sten).
Tentang nama dari waduk itu sendiri ada beberapa nama yang sering
disebut orang-orang, yaitu : Waduk Dawuhan, Rowo Kromoleo, Tanggul Duk Tumpuk,
dan lain-lain. Beberapa sebutan itulah orang-orang sekitar waduk menyebut
daerah tersebut. Tetapi sebutan itu kurang dikenal oleh masyarakat luar desa.
Sebutan waduk dengan nama “Rowo” sebetulnya tidak tepat, karena rawa identik
dengan tanah lembek yang jika terinjak akan menyeret penginjaknya masuk dalam
tanah. Pada waduk tersebut adalah merupakan genangan air bening yang berasal
dari sumber air yang jernih. Oleh sebab itu dengan maksud agar masyarakat luar
daerah lebih mudah mengenal letak daerah itu, dan agar tidak kedengaran serem,
penulis lebih condong dengan sebutan Sang “Telaga Senggreng”. Lalu kenapa pada
waktu bergotong-royong yang paling banyak terlibat adalah penduduk desa
Senggreng ? Ya karena yang punya gawe adalah orang Senggreng, untuk keperluan
mengairi lahan pertanian di Desa Senggreng (seluas + 52 Ha.).
TELAGA SENGGRENG
Telaga Senggreng merupakan sebuah telaga buatan peninggalan masyarakat tradisional desa Senggreng pada masa Kolonial Belanda masih berkuasa. Telaga buatan yang asri dan belum tersentuh arus modernisasi pariwisata ini, dulunya dikerjakan dengan bergotong - royong oleh masyarakat secara tradisional. Semangat dan kemauan masyarakat Desa Senggreng di masa itu patut diacungi jempol. Betapa tidak, dalam kondisi politik masih dalam kungkungan penjajahan dan rakyat yang sangat miskin, namun berkat semangat dan kemauan yang besar pada akhirnya mereka mampu membangun tanggul air yang dapat mengairi sawah sampai seluas + 52 Ha.
Tidak ada yang
tahu dengan pasti tahun berapa tanggul ini dibangun. Namun menurut perkiraan
penulis, dengan mendengarkan cerita dari sesepuh yang masih ada, dipekirakan tanggul
ini dibuat pada sekitar tahun 1920-an.
Apabila dilihat
lebih lanjut tampak semangat dari nenek moyang Desa Senggreng ini menurun ke
anak cucunya, terbukti di bawah kepemimpinan Kepala Desa Sunaryo Darlan, masyarakat Desa Senggreng bangkit
membangun desa hingga
mencapai puncak Juara Nasional
tahun 1999. Dengan sisa masa jabatan yang tinggal seumur Jagung, seakan mesin
diesel yang semakin lama semakin bertenaga,
semangat beliau untuk membangun desa demi kesejahteraan rakyatnya seakan tidak
pernah kendor. Ia berupaya membangkitkan semangat rakyatnya untuk mengembangkan
telaga peninggalan nenek moyang warga Sengreng menjadi kawasan wisata yang
dapat memberikan nilai lebih untuk kontribusi masyarakat Desa Senggreng.
letak geografis wilayah
Batas batas, disebelah:
- *Selatan
berbatasan dengan desa kalipare
-
*Utara berbatasan
dengan desa ngebruk
-
*Barat berbatasan
dengan desa sambigede
-
*Timur berbatasan
dengan desa ternyang
Luas wilayah seluruhnya +
584,520 hektar dan semuanya dalam klasifikasi lahan subur
( 202,056 Ha.sawah pengairan
teknis, 42Ha. Sawah pengairan setengah teknis, dan 95 Ha. Berupa tanah tegalan
/ pekarangan )
sejarah terbentuknya desa senggreng
Dahulu
kala wilayah desa senggreng masih berupa hutan belantara yang masih belum
terjamah tangan manusia. Dalam bahasa jawa biasa di ibaratkan “alas gung lewang
lewung jalmo moro jalmo mati”. Pada sekitar tahun 1830 an setelah Diponegoro
ditangkap oleh belanda maka berakhir pula perlawanan tentara diponegoro. Sejak
saat itu tentara Diponegoro bercerai berai dan banyak yang menyingkir kedaerah
timur yang masih banyak hutan lebatnya dan menyebar di berbagai tempat antara
lain di wilayah Malang, jawa timur. Mereka yang menyingkir ada yang berkelompok
dan adapula yang sendiri sendiri. Mereka membuka hutan belantara untuk
dijadikan ladang pertanian. Mereka mereka sekaligus mendirikan tempat tinggal
di sekitar ladang tersebut sebagai kampung. Penduduk setempat menyebut mereka
sebagai orang mataram, sedangkan perkampunganya disebut disebut mentaraman.
Hingga saat ini didaerah kabupaten malang masih banyak dijumpai adanya kampung
mentaraman. Misalnya dikecamatan sumberpucung ada didesa jatiguwi, dan desa
ngebruk. Dikecamatan kepanjen, donomulyo, gondanglegi, dan lain lain ada suatu
daerah yag disebut kampung mentaraman.
Ada
4 (empat ) orang yang mempunyai peran dalam membuka hutan belantara daerah
selatan desa ngebruk, yakni : Regunung (ayah), Trunowongso(anak),
Malangjoyo(keponakan), dan kromodikoro ( keponakan).
Menurut cerita, setelah menempuh
perjalanan yang cukup melelahkan, maka sampailah mereka ber empat disuatu
tempat, mereka berhenti dan mendirikan tempat istirahat sementara. Selama
ditempat istirahat, mereka mengamati keadaan
sekitar, mereka tertarik dengan lokasi disebelah utara tempat peristirahatan
akhirnya mereka memutuskan untuk membuka daerah tersebut menjadi lahan
pertanian sekaligus perkampungan dan hingga saat ini kampung tersebut terkenal
dengan nama kampung Mentaraman yang terdapat di Desa Ngebruk. Setelah itu
selanjutnya mereka mulai membuka hutan daerah selatan. Mereka membagi diri
menjadi dua. Regunung bersama Trunowongso di bagian timur (sebelah timur jalan
raya Senggreng keselatan sampai Kali Brantas dan kearah timur sampai Ternyang)
sedangkan Malangjoyo dan Kromodikoro di bagian barat ( dari barat jalan raya
Senggreng menuju ke selatan tepai tidak sampai Kali Brantas). Pembagian daerah itu ditandai dengan sebuah tugu batu yang hingga kini masih ada yakni didekat tugu batas Desa Senggreng dengan Ngebruk. Setiap selesai bekerja mereka tetap beristirahat ditempat peristirahatan semula. Lama kelamaan tempat tersebut menjadi tempat berkumpulnya penduduk sekitar untuk sama-sama beristirahat melepas lelah sehabis bekerja. Dari kumpul-kumpul dan bertemunya mereka timbul komunikasi dan saling memberi informasi dalam berbagai hal yang perkembangan selanjutnya mereka saling memerlukan pemenuhan kebutuhan masing-masing, timbul tukar-menukar barang-barang kebutuhan dan lama kelamaan seiring dengan perkembangan jaman secara alami ditempat peristirahatan tersebut menjadi tempat perdagangan jual-beli/barter, dan hingga saat ini tempat tersebut menjadi Pasar Ngebruk.
sejarah nama desa
Di
dalam kawasan hutan belantara yang belum terjamah (alas gung lewang-lewung)
tentu belum ada namanya. Untuk menandai suatu kawasan di dalam hutan agar mudah
dikenali letaknya, adat kebiasan masyarakat jawa dalam menamakan suatu kawasan
diambil dari adanya hal-hal yang dianggap paling menarik perhatian yang ada
dilokasi tersebut, misalnya : nama Sumberpucung, untuk sebutan suatu kawasan di
sekitar sumber air yang didekatnya ada pohon Pucung yang besar. Nama Semaksewu,
untuk menyebut suatu kawasan yang di situ tumbuh ribuan ewon (basa Jawa)
pohon Kesemak, dan lain-lain. Demikian
juga yang dialami ki Malangjoyo dan ki Kromodikoro, dalam membuka hutan
belantara (babat alas gung lewang-lewung) telah menamakan salah satu kawasan
dalam hutan dengan sebutan Waringinrejo, karena di kawasan itu tumbuh sebuah
pohon beringin yang besar dan di sekelilingnya banyak ditumbuhi pohon beringin
kecil-kecil yang masih muda (enom).
Kawasan itu sekarang kira-kira berada di
wilayah RW. .. sehingga pada jaman dahulu kala orang menyebut kawasan senggreng
sekarang dengan sebutan Ringinrejo dan ada juga yang menyebut Wringinanom.
Suatu ketika di kawasan Ringinrejo (Wringinanom) terjadi angin puyuh sehingga
panyak pohon yang tumbang, ada yang dahannya patah, daun-daun lepas beterbangan
diterjang angin puyuh sehingga pohon yang tidak roboh hanya tinggal batangnya
saja. Ringinrejo yang tadinya teduh dengan tiupan angin yang sepoi-sepoi karena
tertahan rindangnya dedaunan, menjadi panas dan tiuapan angin yang cukup
kencang karena gundulnya dedaunan.
Setelah terjadinya angin puyuh yang menyebabkan pohon gundul dan
menjadikan kencangnya tiupan angin dikawasan itu, terjadilah hal yang aneh, di
mana setiap kali ada tiupan angin terdengarlah suara “gembrenggeng” di atas
pohon Elo yang tumbuh di sebelah timur pohon beringin yang paling besar.
Masyarakat sekitar kawasan itu banyak yang ketakutan dan saling bertanya-tanya
: “ Sing Gembrenggeng “ iku suarane opo dulur ? “ Sing nggereng “ iku suarane
opo co ? Semua orang menyebut tentang “ Sing Gembrenggeng “, “ Sing nggereng “
Peristiwa itu menjadi pembicaraan orang karena keanehannya, di mana setelah
peristiwa terjadinya angin puyuh kok setiap kali ada angin terdengar suara
Gembrenggeng ada yang menyebut nggereng seperti macan dan lain-lain. Melihat
adanya keanehan dan keresahan warganya, Petinggi Jogoreso ditemani Pamongnya
menyelidiki sumber suara. Setelah diteliti ternyata suara aneh itu berasal dari
sebuah batu yang bentuknya mirip genthong yang berada di dahan pohon Elo. Sejak
saat itu orang menyebut kawasan itu dengan sebutan “wit elo Singgereng” yang
lama-kelaman diambil praktis dan singkatnya saja kawasan itu disebut Singgreng,
yang lama kelamaan sebutannya berubah menjadi “Senggreng” hingga sekarang.
Langganan:
Postingan (Atom)