SENGGRENG

SENGGRENG
KANTOR

Jumat, 20 Juni 2014

SEJARAH TERJADINYA TELAGA SENGGRENG



Dahulu kala pada masa penjajahan Belanda, lokasi Telaga Senggreng masih berupa tebing yang dibawahnya mengalir sungai kecil nan jernih yang berasal dari sumber air yang banyak berada di sekitar tebing itu. Sumber yang paling besar disebut Sumber Kromoleo. Agar pemanfaatan air dapat maksimal, antara lain untuk pertanian, perikanan, tempat mandi penduduk sekitar dan tempat bersantai melepas lelah bagi penduduk sekitar yang seharian bekerja keras menggarap lahan pertaniannya dan lain-lain, pemerintah Hindia Belanda melalui assisten Wedono yang waktu itu penduduk biasa menyebut ndoro Sten (sekarang Camat) memerintahkan (Dawuh dalam bahasa Jawa) kepada penduduk sekitar untuk membuat tanggul guna membendung sungai limpahan sumber air terutama sumber Kromoleo agar menjadi Waduk yang airnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan.

Atas adanya perintah (dawuh) dari ndoro sten tersebut, maka masyarakat sekitar terutama warga Desa Senggreng bergotong-royong mengadakan kerja bakti membuat tanggul yang bahan-bahannya terdiri dari Ijuk ( dalam bahasa jawa disebut Duk), tanah uruk dan lain-lain, maka jadilah waduk tersebut seperti yang sekarang ini, dan daerah sekitar waduk tersebut hingga saat ini disebut NDAWUHAN asal kata dari Dawuh yang berarti perintah (perintah untuk membuat tanggul dari ndoro Sten). Tentang nama dari waduk itu sendiri ada beberapa nama yang sering disebut orang-orang, yaitu : Waduk Dawuhan, Rowo Kromoleo, Tanggul Duk Tumpuk, dan lain-lain. Beberapa sebutan itulah orang-orang sekitar waduk menyebut daerah tersebut. Tetapi sebutan itu kurang dikenal oleh masyarakat luar desa. Sebutan waduk dengan nama “Rowo” sebetulnya tidak tepat, karena rawa identik dengan tanah lembek yang jika terinjak akan menyeret penginjaknya masuk dalam tanah. Pada waduk tersebut adalah merupakan genangan air bening yang berasal dari sumber air yang jernih. Oleh sebab itu dengan maksud agar masyarakat luar daerah lebih mudah mengenal letak daerah itu, dan agar tidak kedengaran serem, penulis lebih condong dengan sebutan Sang “Telaga Senggreng”. Lalu kenapa pada waktu bergotong-royong yang paling banyak terlibat adalah penduduk desa Senggreng ? Ya karena yang punya gawe adalah orang Senggreng, untuk keperluan mengairi lahan pertanian di Desa Senggreng (seluas + 52 Ha.).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar