Dahulu kala pada masa penjajahan Belanda, lokasi Telaga Senggreng masih
berupa tebing yang dibawahnya mengalir sungai kecil nan jernih yang berasal
dari sumber air yang banyak berada di sekitar tebing itu. Sumber yang paling
besar disebut Sumber Kromoleo. Agar pemanfaatan air dapat maksimal, antara lain
untuk pertanian, perikanan, tempat mandi penduduk sekitar dan tempat bersantai
melepas lelah bagi penduduk sekitar yang seharian bekerja keras menggarap lahan
pertaniannya dan lain-lain, pemerintah Hindia Belanda melalui assisten Wedono
yang waktu itu penduduk biasa menyebut ndoro Sten (sekarang Camat)
memerintahkan (Dawuh dalam bahasa Jawa) kepada penduduk sekitar untuk
membuat tanggul guna membendung sungai limpahan sumber air terutama sumber
Kromoleo agar menjadi Waduk yang airnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan.
Atas adanya perintah (dawuh) dari ndoro sten
tersebut, maka masyarakat sekitar terutama warga Desa Senggreng
bergotong-royong mengadakan kerja bakti membuat tanggul yang bahan-bahannya
terdiri dari Ijuk ( dalam bahasa jawa disebut Duk), tanah uruk
dan lain-lain, maka jadilah waduk tersebut seperti yang sekarang ini, dan
daerah sekitar waduk tersebut hingga saat ini disebut NDAWUHAN asal kata dari Dawuh
yang berarti perintah (perintah untuk membuat tanggul dari ndoro Sten).
Tentang nama dari waduk itu sendiri ada beberapa nama yang sering
disebut orang-orang, yaitu : Waduk Dawuhan, Rowo Kromoleo, Tanggul Duk Tumpuk,
dan lain-lain. Beberapa sebutan itulah orang-orang sekitar waduk menyebut
daerah tersebut. Tetapi sebutan itu kurang dikenal oleh masyarakat luar desa.
Sebutan waduk dengan nama “Rowo” sebetulnya tidak tepat, karena rawa identik
dengan tanah lembek yang jika terinjak akan menyeret penginjaknya masuk dalam
tanah. Pada waduk tersebut adalah merupakan genangan air bening yang berasal
dari sumber air yang jernih. Oleh sebab itu dengan maksud agar masyarakat luar
daerah lebih mudah mengenal letak daerah itu, dan agar tidak kedengaran serem,
penulis lebih condong dengan sebutan Sang “Telaga Senggreng”. Lalu kenapa pada
waktu bergotong-royong yang paling banyak terlibat adalah penduduk desa
Senggreng ? Ya karena yang punya gawe adalah orang Senggreng, untuk keperluan
mengairi lahan pertanian di Desa Senggreng (seluas + 52 Ha.).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar